Apakah kamu tim masak sendiri setiap hari? Apakah setiap hidangan yang kamu sajikan selalu disantap habis? Bagaimana perasaanmu ketika sudah susah payah berlelah-lelah di dapur tapi ternyata makananmu utuh tak tersentuh?
Sebagian ibu mungkin merasa kesal karena menu makanannya tidak disantap oleh keluarga. Rasanya seolah jerih payahnya untuk menghadirkan cinta lewat cita rasa masakan bertepuk sebelah tangan begitu saja. Jika perasaan ini dipelihara berlarut-larut hingga terlalu lama, boleh jadi sang ibu akan merasa dirinya tidak mendapat balasan cinta dari keluarga. Wah, perkara menu makanan saja ternyata bisa panjang urusannya.
Beda halnya dengan ibu lainnya. Mungkin dia tak memiliki luka ketika sajian hidangan tetap utuh di atas meja. Baginya upaya memasak beda halnya dengan hasil apakah makanannya akan disantap tak bersisa. Apakah ibu ini tidak peduli? Bisa jadi, tapi barangkali ibu ini justru sudah memahami konsep lingkar kendali diri.
Apa itu konsep lingkar kendali diri?
Setiap manusia memiliki batasan sesuai dengan kemampuannya. Salah satu batasan yang dimiliki adalah dalam mengendalikan sesuatu, entah itu orang lain atau suatu keadaan. Karena sifat dasar manusia yang terbatas itulah, maka sudah selayaknya kita cukup fokus pada apa-apa saja yang masih menjadi batas kemampuan kita.
Alih-alih memusingkan perilaku atau kondisi sekitar, kita hanya perlu untuk fokus pada diri sendiri. Persepsi orang, perilaku mereka, ujaran, dan apapun yang berasal dari orang lain bukanlah berada di atas kendali kita. Kita tidak bisa mengatur orang lain untuk selalu melakukan apapun yang kita mau. Termasuk juga kita tidak bisa mendikte bagaimana lingkungan, cuaca, dan keadaan di sekitar kita selalu sesuai dengan apa yang kita pinta.
Sama halnya dalam kasus menghidangkan makanan untuk keluarga, kita tidak bisa mengatur segalanya harus sesuai dengan titah kita. Hidangan harus ludes habis, suami memuji masakan kita enak, anak-anak menyantap semua makanan dengan lezat, hingga berujung mereka sehat dan berat badannya naik, bukanlah sesuatu yang selalu bisa kita kendalikan. Maka, alih-alih fokus pada apa yang bukan ranah kita, cukup diri ini sadar bahwa hal itu sudah di luar kuasa.
Di satu sisi, respon kita, pikiran kita, dan ucapan kita adalah sesuatu yang bisa kita kendalikan. Proses kita menyajikan makanan dengan cinta atau dengan terpaksa, menjadi ranah kendali kita. Pun ketika makanan tak disantap, respon yang kita hadirkan kembali lagi pada diri kita. Apakah kita akan mengumpat, ataukah tetap tersenyum hangat. Pilihan itu ada di tangan kita.
Ihtisab
Satu lagi yang menjadi pertimbangan dalam menerapkan lingkar kendali diri adalah dengan menghayati makna ihtisab. Kata ihtisab sering sekali kita dengar di bulan Ramadan ketika banyak himbauan untuk berpuasa dan mendirikan qiyamul lail dengan imanan wahtisaban, dengan iman dan ihtisab.
Apakah makna ihtisab itu? Ihtisab artinya kita hanya mengharap balasan dari Allah semata. Memang dalam konsep ini, balasan dari Allah SWT adalah sesuatu yang berada di luar kendali kita. Namun, ketika sejak awal kita sudah menetapkan tujuan bahwa segala yang kita lakukan untuk mendapat balasan dari Allah dan yakin biarlah cukup Allah yang membalas, maka sejatinya kita sedang berada dalam level tertinggi dalam melakukan aktivitas.
Apakah level tertinggi itu? Tidak lain dan tidak bukan yaitu ikhlas. Niat yang ikhlas karena Allah adalah puncak tertinggi penghambaan manusia dalam setiap amal perbuatannya. Bukankah ini menjadi kunci utama untuk mendapat ridha-Nya?
Maka, sejak awal ketika berproses untuk menghidangkan makanan, kita bisa meniatkan aktivitas memasak itu lillahi ta’ala. Kita tak akan ambil pusing apakah makanan itu habis atau ternyata tak sesuai dengan lidah keluarga, karena kita sudah menyerahkan semua hasil itu kepada Allah semata.
Mari kita coba ihtisab dan fokus pada kendali diri di semua aktivitas. Semoga kita mendapati kedamaian hati yang sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar