medis, parenting, bisnis, religi

Beng-beng Jatuh

 



Mentari bersinar dengan garang pagi ini. Tak seperti biasanya ketika dia malu-malu dan tertutup awan, udara pagi ini membuat orang harus berpikir dua kali jika bersikeras akan murung. Begitu pula dengan seorang gadis cilik berseragam merah putih yang tampak menularkan secercah energi. Sambil duduk di jok belakang sepeda motor automatic, rambutnya yang dikuncir ekor kuda bergoyang ke kanan dan kiri. Tangan kanannya menggenggam sesuatu. Sebuah coklat wafer merk tertentu seolah sedang dia timang-timang. Mungkin dia mendapatkannya sebagai hadiah, atau sebagai luapan kebahagiaan karena bisa jajan setelah sekian lama tidak bisa masuk sekolah.


Namun, beberapa detik berikutnya, pluk! Coklat itu jatuh. Benda mungil yang sedari tadi kokoh dalam genggaman, kini tergeletak tak berdaya di jalan aspal begitu saja. Anak kecil itu menengok ke bawah. Dia menatap coklatnya yang berjarak beberapa sentimeter dari ban belakang sepeda motor. Namun sedetik kemudian dia memalingkan muka, menatap lurus ke depan seolah tak menggubris nasib wafer coklat yang tadi ditimang-timangnya.


Beberapa detik berlalu, lampu lalu lintas di depan masih menunjukkan warna merah. Namun seiring berjalannya waktu, semakin terlihat seolah tak pernah terjadi apa-apa antara beng-beng di jalan dan anak gadis itu.


Apakah gadis kecil itu kecewa? Mungkin hatinya sedang gundah sehingga tidak bisa mengambil keputusan apa-apa karena wafer coklat yang ditimang-timangnya justru jatuh seketika. Ibarat dia sedang menanti sesuatu lalu lolos begitu saja, lantas dia meratapi nasibnya tanpa bisa berbuat apa-apa.


Mungkinkah dia justru kesal dan menyalahkan beng-beng yang jatuh? Kenapa harus jatuh, padahal sudah dibeli dan sudah diharapkan akan segera dimakan. Karena kekesalannya yang memuncak itu lantas ia menjadi tak peduli, membiarkan coklatnya jatuh dan tak mau bersusah payah mengambilnya lagi. Ibaratnya seperti dia sudah berusaha meraih tapi justru dia dikhianati, lantas abaikan saja nasibnya sendiri.


Mungkinkah dia justru ketakutan? Takut ada sesosok wajah di pintu rumah yang akan menginterogasi dengan pertanyaan bertubi-tubi. Kenapa bisa jatuh? Kenapa tidak hati-hati? Kenapa uangnya untuk jajan? Kenapa tidak dimasukkan tas? Dan berjuta pertanyaan kenapa yang memang menyalahkan keadaan. Ibarat sudah setengah jalan lalu berhenti, hanya ada penyesalan tanpa ada solusi.


Padahal, bisa saja gadis itu turun sejenak dari sepeda motor. Mungkinkah dia tak punya nyali karena lelaki di depannya hanyalah sosok asing yang menjemputnya dengan memakai jaket berwarna hijau? Barangkali jika itu ayah atau kakaknya, dia akan memberi tahu lalu tinggal mengulurkan tangan dan meraih wafernya. Atau mungkin dia ragu-ragu untuk turun dari tempat duduknya karena lampu lalu lintas di depan tak ada penanda waktunya. Mungkin ketika dia memberanikan turun lantas lampu tiba-tiba berubah hijau, dan dia pun akan panik karena semua kendaraan menyerbu untuk maju.


Atau bagi orang lain, pengguna jalan di belakang sepeda motor online itu, apakah tidak ada yang menyaksikan jatuhnya wafer coklat di jalan? Tidakkah penasaran kenapa ada coklat tergeletak dengan sangat rapi di aspal? Mungkinkah mereka juga terlalu sibuk dan abai untuk melakukan tindakan karena sudah banyak hal dalam pikirannya untuk dilakukan?


Tidak ada yang tahu. Semua hanya kemungkinan demi kemungkinan. Bahkan kita kini tak tahu bagaimana nasib beng-beng itu ketika lampu berganti dan semua kendaran melaju.


Wallahu a'lam, hanya Allah yang tahu jawaban dari segala kemungkinan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

@templatesyard