medis, parenting, bisnis, religi

Jatingarang

 



Kamu tahu jatingarang? Buat orang jawa atau sesepuh zaman dulu mungkin sudah familiar dengan istilah itu. Jatingarang semacam hari pantangan menurut penanggalan jawa atau hijriah. Biasanya jatingarang dipakai untuk melihat hari baik atau hari buruk untuk melakukan sesuatu. Sistemnya setiap tiga bulan hijriah akan ada ada dua hari jatingarang. Begitu tiga bulan berlalu, hari jatingarang akan berganti menjadi dua hari berikutnya.


Memang apa pantangan dari jatingarang? Katanya, yang menikah di hari itu akan diprediksi tidak punya anak, atau anaknya sakit-sakitan. Dari segi finansial, rejekinya diprediksi seret dan hidupnya cenderung miskin. Pernikahannya pun kurang harmonis dan berisiko terjadi perceraian, entah cerai hidup atau cerai mati.


Mendengar tentang konsep itu saja, saya spontan tak percaya. Bahkan bukan sekedar tak percaya, saya cenderung menyangkal terutama di poin terakhir. Kalau definisinya begitu, bukankah setiap pernikahan memang akan bercerai? Jika tidak harmonis, artinya cerai hidup. Tapi jika memang ajal sudah saatnya menjemput, mau tak mau memang akan menjadi cerai mati. So, semua memang akan begitu kan? Hanya perkara waktu saja apakah cerai mati ketika masih muda, atau ketika sudah menjadi kakek nenek di lanjut usia.


Bukan hanya tentang pernikahan, di hari jatingarang pun dilarang untuk memulai sesuatu yang baru. Membeli barang misalnya, atau bepergian jauh, atau mengurus sesuatu. Jika memulai membuka usaha di hari itu, bisnisnya akan tidak laku. Jika membeli sesuatu di hari itu, barangnya akan cepat rusak atau ada saja kesalahan. Jika mengurus berkas di hari itu, akan lama, dipersulit, dan bahkan mungkin tidak deal.


Bagi orang-orang yang mempercayainya, mereka akan selalu mengaitkan jatingarang dengan setiap kejadian. Suatu kali ada sebuah proyek yang dimulai di hari jatingarang, lantas proyek itu pun molor dari jatah waktu yang ditentukan. Mereka berkata ini karena jatingarang.


Contoh lain, sepasang suami istri menikah di hari jatingarang. Sebagai generasi milenial masa kini, tentu saja mereka tak akan melihat hari secara bulan jawa, hanya saja kebetulan tanggal yang mereka tentukan adalah tanggal cantik. Lantas para penganut jatingarang menduga, lihat saja nanti bagaimana pernikahannya. Hingga memasuki usia pernikahannya yang kedua, mereka belum mendapatkan keturunan. Lantas mereka berkata ini karena jatingarang. Padahal mereka tak tahu saja bahwa si wanita memang menderita PCOS, sehingga hormonnya sedikit kacau untuk bisa mendapatkan keturunan. Padahal, entah dia menikah di saat jatingarang atau tidak, bukankah dia memang sudah PCOS sejak semula. Jadi akan sangat dimaklumi kan jika dia memang perlu usaha lebih ekstra untuk mendapat buah hati.


Namun yang namanya sudah yakin bin percaya, tetap saja mereka akan mengatakan bahwa itu akibat dari jatingarang. Karena keyakinan itu juga lah yang akhirnya membuat semuanya seolah memang terjadi karena jatingarang. Kalau menurut saya, itu tak lebih seperti law of attraction. Apa yang kita pikirkan, itulah yang akan terjadi. Ketika kita memikirkan bisnis akan gagal karena dimulai di jatingarang, sadar tak sadar perilaku pun akan membawa ke arah kegagalan.


Terlepas dari itu, yang perlu diwaspadai adalah risiko syirik jika benar-benar percaya pada jatingarang. Seolah-olah bahwa dia bisa memprediksikan apa yang akan terjadi di masa depan. Pun bersikap layaknya Tuhan yang bisa menentukan nasib seseorang. Naudzubillah.


So, masihkah perlu percaya pada jatingarang? Bukan karena tak lagi menghormati wejangan para tetua, tapi yang lebih krusial, akankah menggadaikan ikhtiar dan tawakal pada Allah ta'ala.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

@templatesyard