Dewasa ini, orang tua milenial disibukkan dengan segala sesuatu yang terukur dan bersifat duniawi. Sejak mendapat kabar bahwa mereka akan menjadi seorang ayah dan ibu, yang terlintas adalah bagaimana agar janin tumbuh dengan sehat. Pun ketika sang jabang bayi terlahir di dunia, urusan tumbuh kembang, nutrisi, perkembangan seolah menjadi bahasan utama.
Para ibu khawatir dengan berat badan anaknya yang tak kunjung naik. Begitu masuk ke area belajar, mereka resah ketika anaknya belum bisa mengeja. Tapi ada yang terlupa, mereka seolah merasa tak mengapa ketika anaknya belum mencintai Tuhannya, atau bahkan memiliki akhlak yang tidak semestinya.
Padahal, kesuksesan seorang ayah ibu bukanlah ketika anaknya berpenghasilan banyak, terpandang, atau memiliki rentetan gelar. Keberhasilan orang tua justru dilihat dari seberapa dekat anak dengan Rabb-nya. Sedangkan kita tahu bahwa fasenya adalah adab sebelum ilmu, dan iman sebelum quran. Maka, untuk menuju ke sana, yang pertama kita perhatikan adalah tentang adab.
Adab merupakan akhlak yang didasari dengan ilmu. Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, konsepnya dimulai dari pikiran-pikiran yang dibiarkan menguat sehingga masuk ke wilayah hati. Jika dibiarkan semakin berkembang akan muncul menjadi perbuatan. Perbuatan dalam jangka waktu panjang dan terus-menerus akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan dalam waktu panjang akan menjadi karakter atau akhlak.
Imam Ghazali menyebutkan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan tanpa proses berpikir. Akhlak adalah sesuatu yang spontan, entah itu akhlak yang baik atau buruk. Artinya, akhlak yang baik akan tumbuh melalui proses yang panjang dari sebuah benih yang baik.
Pertanyaannya, di manakah mendapatkan benih akhlak yang baik bagi anak-anak? Di mana lagi kalau bukan dari orang tua yang baik. Maka, langkah pertama untuk menjadikan anak-anak kita shalih dan berakhlak mulia adalah dengan menjadi ayah dan ibu yang shalih terlebih dahulu. Seperti kata pepatah, buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Jika orang tua shalih, insya Allah anak akan lebih mudah untuk tumbuh menjadi anak yang shalih.
Beberapa riwayat sudah menunjukkan betapa pentingnya menjadi seorang ayah yang baik. Seperti dalam kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa a.s., bagaimana Allah SWT menjaga hak anak yatim yang memiliki harta peninggalan ayahnya yang sholih di bawah rumahnya yang hampir roboh. Allah SWT yang memberikan jaminan pada anak yatim itu, dengan menggerakkan kedua nabi memperbaiki rumahnya. Itu semua tersebab anak yatim tersebut memiliki ayah yang shalih.
Menjadi ayah yang shalih dapat dilakukan dengan memastikan makanan yang masuk ke dalam mulut keluarganya berasal dari harta yang halal dan thoyib. Setiap nutrisi yang mengalir dalam tubuh keluarganya adalah baik. Darah yang baik itulah yang akan memudahkan keluarga untuk terjaga dari segala kemaksiatan.
Bermula dari ayah yang shalih itulah, pastilah dia akan memilih pasangan yang baik. Istri dan nantinya menjadi seorang ibu yang shalihah akan menjadi madrasah pertama terbaik untuk buah hatinya. Sebagaimana kita tahu bahwa doa seorang ibu ibarat panah yang langsung melesat ke arsy. Ketika seorang ibu adalah hamba yang shalih, maka akan ada doa-doa kebaikan yang selalu terjaga untuk buah hatinya.
Namun pertanyaan selanjutnya, bagaimana agar bisa menjadi ayah dan ibu yang shalih? Caranya adalah dengan melakukan tazkiyatun nafs. Hanya dengan hati yang suci yang akan bisa membimbing anak-anak menuju kesucian pula. Percuma seorang orang tua memiliki ilmu pengasuhan yang begitu banyak, tapi ketika hatinya belum murni maka akan menguap begitu saja ilmunya. Sebaliknya dengan hati yang suci itulah, orang tua akan memiliki ilmu terbaik untuk mendampingi putra-putrinya.
Tazkiyatun nafs ini dilakukan dengan sering melakukan muhasabah, mengoreksi siapakah diri kita, bagaimana kita pada umumnya, apa yang membuat ganjalan-ganjalan dalam hidup kita, lantas bagaimana kita akan berubah untuk memperbaikinya. Proses ini dilakukan terus-menerus tanpa henti, diiringi dengan menyiapkan amalan-amalan terbaik sebagai wasilah keridhaan Allah SWT kepada diri kita dan anak-anak kita
Ketika akhirnya jiwa sudah bersih, maka mendampingi akhlak ananda akan menjadi lebih mudah karena tentunya ada Allah SWT yang selalu mendampingi dan menjadi orientasi. Kita akan seolah mendapat ilham untuk bisa memanfaatkan setiap momen demi menanamkan keshalihan kepada anak-anak.
Proses menanamkan keshalihah ini tidak melulu dengan memberikan pengajaran demi pengajaran. Sejatinya akhlak bukanlah sesuatu yang diajarkan, melainkan dari fitrah yang tumbuh dengan baik. Mau di usia berapapun tahap usia anak kita, ketika fitrah mereka tumbuh dengan baik maka insya Allah akhlak pun akan menjadi baik.
Di usia 0-6 tahun, anak diibaratkan sebagai raja yang melalui kehidupan yang indah. Akhlak di sini dikenalkan dengan imaji-imaji indah, melalui dongeng, bermain, dan contoh-contoh nyata. Tidak perlu terburu-buru menjejalkan ini itu, di tahap ini anak akan banyak melihat bagaimana akhlak orang tuanya sehingga muncul ungkapan, “Jangan khawatir tidak mengawasi anak, tetapi khawatirlah ketika anak mengawasi kita.”
Di usia 7-14 tahun, anak diibaratkan layaknya seorang tawanan. Di usia ini mereka mulai dikenalkan dengan aturan-aturan. Ada perintah sholat yang mulai muncul, bukan lagi diceritakan dengan bayangan indah, tetapi sudah harus langsung dipraktikkan hingga andai usia 10 tahun belum mau berdiri tegak sholatnya akan mendapat hukuman berupa pukulan. Ada fase tidak menyenangkan di tahap usia ini ketika usia 10 tahun mereka harus diusahakan untuk tidur di kamar terpisah. Hal-hal inilah yang dilatihkan untuk mencetak akhlak anak sesuai dengan koridor syariat.
Di usia 15-21 tahun, anak ibarat sahabat. Harapannya anak-anak sudah berada dalam fase aqil baligh sehingga kedudukannya sama dengan orang tuanya. Anak bisa diajak berdiskusi dan siap untuk mengemban misi dakwah ataupun tanggung jawab syariat dari Allah SWT. Jika di fase usia sebelumnya mereka sudah terbayang akan akhlak yang baik, dan dilatihkan dengan akhlak baik, maka di fase ini insya Allah mereka siap untuk istiqomah dan menjadikan akhlak sebagai nilai yang terus mengalir dalam kehidupan mereka.
*disampaikan di acara parenting @omah.sinaupelangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar