Jiwa-jiwa yang kuat, itu kita
Benarkah manusia adalah sosok yang selalu kuat? Dengan berbagai fase hidup yang dilalui, tak dipungkiri kadang manusia berada di fase puncak, lantas terjun bebas ke fase terendah. Apakah setiap fase benar-benar dilalui dengan jiwa yang kuat?
Seringkali manusia merasa sok kuat, menganggap bahwa dirinya mampu memikul segalanya. Tapi dia lupa, bahwa kekuatan manusia pun ada batasnya. Ibaratnya manusia ditantang untuk mengangkat botol air mineral selama satu menit. Bagi dia, itu mudah saja. Lalu challenge pun ditingkatkan menjadi sepuluh menit. Mungkin dia masih merasa biasa saja. Tapi bagaimana jika dinaikkan menjadi satu jam, sepuluh jam, satu hari, dan seterusnya. Boleh jadi tangannya akan kebas, mati rasa, kesemutan, hingga lunglai tak bertenaga.
Begitu juga manusia dalam menghadapi beban kehidupan. Analogi yang dipakai adalah tentang air kencing. Ketika kita merasa ingin buang air kencing, mungkin kita masih bisa menahan di menit-menit awal sambil menuju ke toilet. Tapi bagaimana jika sudah setengah jam di saat kondisi terjebak macet atau harus mengantre di toilet umum. Gerakan tubuh pasti akan gelisah tak tenang. Baru tubuh kembali normal begitu buang air kecil ditunaikan.
Sejatinya, beban kehidupan pun demikian. Jika terlalu lama menahan beban hidup itu bersemayam dalam hati, maka kita pun menjadi gelisah. Jadi satu-satunya cara untuk mendapat ketenangan hidup adalah dengan melepaskan beban tersebut.
Bagaimana cara melepaskan beban?
Ada setidaknya dua cara yang bisa kita lakukan untuk mulai melepaskan beban yang menghimpit dalam hati.
Pertama, melihat suatu kondisi dari sudut pandang luas
Nabi Ayub a.s. adalah sosok nabi yang menjadi tauladan kita dalam kaitannya dengan beban hidup. Siapa manusia yang lebih menderita dibanding Nabi Ayub? Ketika usahanya gulung tikar, anak-anaknya meninggal semua, istri meninggalkannya, dan dia pun menderita penyakit. Namun, apakah Nabi Ayub merasa hidupnya penuh beban? Tidak sama sekali.
Suatu ketika istri Nabi Ayub berkata padanya, "Kenapa engkau tidak meminta kepada Allah SWT untuk menyembuhkan penyakitmu?" Jawaban Nabi Ayub menakjubkan. Beliau menjawab, "Selama tujuh puluh tahun Allah sudah memberiku kesehatan dan kekayaan, apakah pantas aku meminta Allah mengangkat penyakitku padahal aku baru diuji sebentar saja?"
Nabi Ayub tidak melihat ujian hidup pada episode ujian itu datang, melainkan beliau melihat dari sudut pandang yang luas. Alih-alih melihat satu titik beban kehidupan, kita hanya akan fokus pada titik tersebut. Ketika bertemu titik berikutnya, kita akan beranggapan betapa banyak titik ujian dalam kehidupan kita.
Padahal jika kita mau menarik dari atas, melihat dengan helicopter view, mungkin satu titik beban hidup itu tak akan terlihat. Kita akan lebih bijak karena melihat titik tersebut sebagai sebuah bagian dari bidang yang indah. Dengan begitu rasa menanggung beban akan hilang dari hati kita.
Kedua, dengan selalu berprasangka baik kepada-Nya
Setiap apapun yang hadir dalam kehidupan kita pasti membawa pelajaran bagi kita. Maka, yang diperlukan adalah bagaimana mengilmui setiap fase kehidupan. Segala yang mungkin kita anggap buruk atau beban, boleh jadi sebenarnya rahmat yang Allah berikan. Bedanya hanya karena sudut pandang kita yang berbeda dengan sudut pandang Allah Ta'ala.
Maka, yang diperlukan adalah bagaimana hati yang selalu berusaha mengimani bahwa Allah tak akan memberikan rencana buruk pada hamba-Nya. Yang perlu dilakukan adalah selalu mendalami ilmu agar hikmah itu bisa didapatkan. Mungkin memang tidak akan langsung terlihat dalam sehari, sebulan, atau setahun. Dalam perkara hijrah misalnya, Rasul pun tak mengerti mengapa Allah meminta umat Islam hijrah dari Mekah yang makmur menuju Madinah yang sepi. Namun delapan tahun berikutnya baru mereka paham, bahwa ada kemenangan Islam yang disiapkan oleh Allah SWT dengan fathul Makah.
Percaya saja, bahwa akan ada kebaikan dari setiap fase kehidupan. Lepaskan bebanmu, dan langitkan imanmu.
Disarikan dari kajian Ustadz Oemar Mita: Saatnya Melepaskan Beban Hidup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar