Tak ada manusia yang sempurna. Sepertinya semua orang sudah sangat paham dengan hal itu. Sayangnya, tahu akan hal tersebut tidak serta merta membuatnya paham akan makna tidak sempurna. Jika memang manusia tidak sempurna, bukankah tidak selayaknya manusia membuat dirinya serba bisa dan menuntut untuk mencapai segalanya?
Zaman SD dulu, ada seorang guru yang berkata, "Saya ini serba bisa." Waktu itu rasanya ucapan beliau adalah pertanda bahwa pak guru itu hebat luar biasa. Beliau melanjutkan, "Jadi guru bahasa indonesia, bisa. Jadi guru matematika, bisa. Jadi guru agama, juga bisa. Guru kesenian, juga bisa, dst"
Tapi setelah diingat, nyatanya beliau tidak benar-benar hebat. Indikatornya adalah ketika kami berkunjung dan mengenang kembali para guru yang mendidik kami di zaman SD dulu. Yang membekas justru guru A yang ahli matematika, guru B yang jago menari, guru C yang memang spesialis seni, guru D yang dedengkotnya IPS, dst. Ketika guru serba bisa tadi disejajarkan, rasanya menjadi hambar tak ada kenangan. Memori justru menyimpan kenangan pada beliau para guru yang memiliki spesialisasinya.
Dari situlah saya mulai bertanya-tanya, jadi apa istimewanya menjadi orang yang serba bisa tapi dengan kapasitas sekenanya? Atau lebih baik menjadi seseorang yang spesifik dan memiliki keunikan tersendiri sehingga dia menjadi spesial karena seolah menjadi the one and only?
Layaknya Seorang Dokter
Konsep ini hampir sama dengan konsep pilihan karier bagi seorang dokter. Awalnya seorang lulusan kedokteran adalah menjadi dokter umum. Istilah inggrisnya yaitu general practitioner. Dia memang bisa menangani kasus secara general. Pasien kulit, pasien batuk pilek, pasien keluhan demam, semua bisa dia tangani. Tapi apakah itu berarti dia maha segalanya?
Nyatanya tidak. Perannya justru hanya di level basic. Ketika ada kasus yang rumit, dia yang bersifat rata-rata itu membutuhkan seseorang yang dianggap lebih ahli, tak lain dan tak bukan adalah dokter spesialis. Memang kesannya seorang dokter spesialis hanya menguasai satu bidang tertentu saja. Seorang dokter kulit tentu saja hanya mampu menguasai permasalahan kulit. Mungkin dia sudah lupa atau tidak tertarik lagi dengan kasus penyakit dalam atau kasus mata misalnya.
Namun meski dokter spesialis hanya mampu begitu, tetap saja dia diakui. Bahkan levelnya menjadi rujukan yang tingkatannya lebih tinggi. Jadi jika begini, apakah iya manusia masih dituntut untuk serba bisa? Atau lebih baik fokus satu dan menekuni spesialisasinya?
Meninggikan Gunung Bukan Meratakan Lembah
Meski tidak sepenuhnya tepat, tapi konsep ini serupa dengan tema yang disampaikan di Ibu Profesional. Setiap orang punya kelebihan dan kelemahan. Ibaratnya, gunung adalah kelebihan kita, menjadi sesuatu yang memang menonjol dalam diri kita. Di satu sisi kita juga punya kelemahan, layaknya sebuah lembah atau jurang.
Kadang orang lebih fokus pada lembah atau jurang-jurang yang dia miliki. Misal dia tak bisa menjahit, dia berusaha keras untuk bisa menjahit. Kursus sana-sini. Otodidak belajar sendiri, menyimak mode, dll. Itu semua dia lakukan semata-mata karena dia tidak rela memiliki kelemahan dalam bidang menjahit. Dia ingin menjadi orang yang serba bisa dan menguasai segalanya.
Padahal, boleh jadi dia sudah memiliki keahlian tertentu. Mungkin dia piawai di ranah baking. Makanannya enak, bentuknya pun cantik. Sayangnya karena waktunya dihabiskan untuk mengejar ketinggalan di ranah jahit-menjahit, dia justru kehilangan waktu untuk mempertajam kemampuan bakingnya.
Nah jadi makin jelas kan kalau kita memang tidak harus menguasai semuanya?
Trus apakah berarti tidak belajar?
Oh, tentu saja bukan begitu. Belajar dan sekedar ingin tahu tentu boleh-boleh saja. Bahkan dengan belajar itu mungkin kita jadi bisa menemukan apa bidang spesialisasi kita. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah, kita bukanlah manusia sempurna yang dituntut untuk serba bisa. Cukup temukan passion dan fokus di ranah itu saja. Bismillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar