Alkisah ada salah seorang sahabat bernama Al-Qomah. Layaknya personal branding sahabat Rasul pada umumnya, tak perlu lagi diragukan tentang bagaimana kualitas ibadahnya. Shalat, puasa, zakat, sedekah, dan berbagai amalan seakan sudah menjadi candu setiap harinya.
Tapi dia berbeda. Statusnya hanyalah sahabat, artinya dia bukan nabi yang ma'sum sempurna tanpa cela. Nyatanya dia tersandung satu perkara yang membuatnya menderita.
Menjelang ajalnya Al-Qomah tak sanggup mengucap kalimat lillah. Aneh! Sekaliber seorang sahabat, mana mungkin susah mengucap syahadat. Investigasi pun dilakukan, tak tanggung-tanggung Rasul sendiri yang turun tangan.
Usut punya usut, sang ibunda tak suka pada anaknya. Dia memang ahli ibadah, tapi ia membuat hati ibunya terluka. Anak kesayangannya itu ternyata lebih mementingkan istri tercinta daripada ibunya.
Tak ada jalan lain. Kala itu belum ada suntik euthanasia. Suka tak suka, Al-Qomah harus dibakar hingga mati dengan sendirinya. Sang ibu terpekik, mana tega dia melihat anaknya dibakar hidup-hidup di depan mata. Dia pun memilih memaafkan dan seketika Al-Qomah mengatupkan mata setelah menyatakan Allah tuhan yang esa.
The end.
Wanita itu menutup kisahnya, lalu melirik bocah yang berbaring di sebelahnya. Raut mukanya tampak asyik menyimak rangkaian kata demi kata dalam cerita. Sebelum berlanjut menjadi bincang hangat menguak hikmah, dia lebih dulu menimpali.
"Aku mau punya istri."
Wanita itu bungkam. Dari sekian rentetan cerita dengan tema berbakti dan mencari ridha orang tua di atas amalan lainnya, bagaimana dia justru meng-highlight secuil narasi tentang tokoh utama yang begitu mencintai istrinya? Apakah dia berazzam akan menunjukkan pada dunia bahwa dia bisa mencintai seorang wanita tanpa mengabaikan ibunya?
Ah, andai kalimat itu diucapkan dua puluh tahun lagi, mungkin pernyataan itu akan dilanjutkan dengan mengatur jadwal temu keluarga. Sayangnya dia hanya bocah yang usianya masih bisa dihitung dengan jari-jemari kedua tangan manusia. Jadi, harus bagaimana selanjutnya?
Berbagai teori pun ter-recalled dengan sendirinya. Akankah ditanggapi dengan membebek sama persis sesuai ungkapannya, atau memilih bertanya balik sejauh mana pemahamannya. Namun ada satu poin yang sudah benar--dan semoga bertahan hingga kelak dia besar. Setidaknya dia berkata "Aku mau punya istri", bukan sekedar, "Aku mau punya pacar."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar