medis, parenting, bisnis, religi

Deal with Your Brother

 

Berebut mainan


"Itu kan punyaku," sahut seorang anak lelaki. Hardikannya membuyarkan hawa kantuk yang sudah bergelayut di pelupuk mata seorang wanita.


Seolah tak mau kalah, terdengar suara lain menimpali. "Aku udah main ini dulu." Suaranya sedikit lebih kecil, seolah menjadi pertanda bahwa usianya memang lebih muda. Namun intonasinya tak kalah meninggi dibandingkan suara pertama.


Percakapan selanjutnya sudah bisa diduga. Mereka akan saling adu argumentasi, mengajukan dalil shahih sebagai bukti sekaligus alibi. Bahkan boleh jadi akan diikuti dengan raungan tangisan, atau anggota tubuh yang saling menerjang.


Antar mereka memang ada perjanjian tak tertulis -- tentu saja tidak bisa ditulis karena mereka memang belum bisa menulis sempurna, pun belum mampu membaca kata demi kata. Perjanjian mereka adalah tiap orang sudah memiliki barangnya sendiri. Baju bagai pinang dibelah dua sudah tersedia. Truk dan sejenisnya berjumlah ganda. Segala robot pun tersedia sepasang pula. Begitu seterusnya. Seharusnya peluang untuk saling berebut sudah tak ada.


Karena semua sudah tersedia, maka aturan pertama pun diumumkan. "Barangsiapa yang ingin memakai barang milik orang lain, harus meminta izin kepada yang punya." Clear, tanpa ditawar.


Namun meski probabilitas sudah dieliminasi, terkadang muncul kondisi dimana segalanya tak bisa selalu dua. Seonggok lego misalnya. Sekalipun dibeli dua pack, tetap saja akan bergabung jadi satu dan dimainkan bersama. Maka, muncullah aturan main berikutnya, "Barangsiapa ingin bermain sesuatu harus minta izin pada yang sudah duluan memainkannya".


Dua aturan itulah sumber prahara siang itu. Sang kakak merasa bahwa mainan itu miliknya, dia yang memilih, dan membelinya. Sang adik merasa benar dengan fakta kedua, dia sudah memainkan lebih dulu sejak sang kakak masih sekolah.


Adu mulut terus bersautan. Hingga suara pertama berkata, "Kamu pelit. Padahal tadi di sekolah lauknya pakai ayam ga aku habisin. Aku bawa pulang buat kamu. Tapi ternyata kamu pelit!"


Dia pun menunjukkan secuil ayam yang baru saja dikeluarkan dari kotak makan di dalam tasnya. Si kecil memicingkan mata, lalu mengalihkan pandangan pada wanita yang dari tadi mengamati, seolah minta pertimbangan. Tak lama dia pun menyorongkan mainan dalam dekapannya, lalu meraih kotak makan dari kakaknya. Solved!


Terkadang kita hanya perlu memulai menunjukkan cinta untuk bisa mendapat apa yang kita damba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

@templatesyard